Sejak matahari mulai
menyembul diujung sana, aku melebur bersama ombak-ombak riang yang
mendekat. Nyiur berdendang dan
kambing-kambing itu mengucapkan selamat pagi pada ku. Anak-anak nelayan
mendayung perahunya dibawah kristal orange yang dijilati lautan. Aduhai, adakah
kalimat lain selain Subahanallah untuk pagi yang sempurna ini. Subahanallah,
Gusti biarkan waktu berhenti sejenak disini. Sejak pandangan pertama pada
pesisir biduk-biduk ini aku memutuskan akan tinggal lebih lama disini. Rencana
awal hanya satu hari tapi mau bagaimana lagi? namanya juga sudah jatuh cinta, jadi
ya susah diajak pindah-pindah. Akhirnya aku putuskan tiga hari akan bermesraan
dengan pesisir ini. Sebenarnya ingin lebih lama tapi cukup. tiga hari itu
cukup, cukup membuat atasan mengernyitkan dahinya. Ah aku tak peduli, anak
nelayan memang selalu menggemaskan, pesisir selalu menyejukan. Paduan yang
sempurna, aku menyebutnya keindahan yang lucu.
Keindahan yang lucu, Biduk-biduk |
Kepulan asapnya
memudar, aromanya perlahan menghilang dan tiba-tiba menghambar, terlalu lama
aku duduk ditepian sampai-sampai secangkir teh tak lagi panas akibat ku
hiraukan. Aku kembali ke Losmen Miranti dan langsung menuju kamar mandi.
Membersihkan diri dan bersiap untuk melakukan petualangan hari pertama sekalian
supaya wangi. Kali saja ada gadis pesisir yang kepincut. Sambil menyelam minum
coklat hangat sama pisang keju boleh kan?
Ibu Miranti sangat
baik, pagi itu seusai mandi aku menghabiskan waktu diruang depan bersama beliau
bercerita banyak hal dari keindahan biduk-biduk, kisah masa gadis ibu bahkan
sampai tentang losmen Miranti yang ternyata peninggalan Alm. Suaminya. Duh,
jadi melow gini. Tapi bener Ibu Miranti adalah sosok wanita yang tegar yang
kini berjuang menghidupi tiga orang anak. Anak pertamanya bernama Anin, putri
pertamanya ini sedang menempuh pendidikan disalah satu sekolah menengah
kejuruan kota Tanjung Redeb. Anaknya
yang kedua laki-laki bernama Zidan baru kelas dua sekolah menengah pertama dan
yang ketiga sodiq, laki-laki mungil yang bangga berkulit hitam ini akan masuk
sekolah dasar tahun depan.
Biduk-Biduk |
***
“Kalau mau
jalan-jalan pakai saja motor didepan, tapi hati-hati kuncinya sering lepas”
“Siap bu”
Siang itu matahari
begitu terik, seusai saran ibu-ibu yang satu mobil dengan saya dari Tanjung
redeb menuju Biduk-biduk bahwa waktu yang pas mengunjungi danau labuan cermin
adalah siang hari. Saat panas matahari bertemu dengan dinginnya danau.
Segeralah ku tancap gas, menuju danau Labuan Cermin yang menjadi Tujuan utamaku
berada di Biduk-Biduk. Sepanjang perjalanan hanyalah pantai, pantai dan pantai
dan satu lagi. Pohon kelapa. Ya, kelapa jadi tumbuhan khas pesisir biduk-biduk
dengan garis pantai yang panjang. Ada lagi ciri khas Biduk-Biduk yaitu sapi dan
kambing. Kedua hewan ini berkeliaran dengan bebas dimana-mana tak jarang juga
menebar tanjau (Baca : kotoran) sembarangan membuat aku benar-benar tidak
boleh menggunakan kecepatan lebih dari 60km/jam. Tapi bukan berarti sapi bebas
berkeliaran karena dianggap hewan suci seperti di india ya, jangan salah paham.
Sapi disini bisa berkeliaran bebas karena tidak ada kandangnya. Menurut ibu
Miranti ini semua kesalahan pemerintah. Untuk perkembangan desa pemerintah
memberikan sumbangan bibit sapi, seharusnya bibitnya baru di bagikan ketika
warga sudah memiliki kandang. Tapi keburu datang dan kandang belum ada, jadilah
alam yang mendidik sapi-sapi ini.
“Selamat datang di
danau dua rasa labuan cermin”
Begitulah sebuah
papan kuning yang berada didermaga tempat perahu yang bisa membawa penumpang
menuju danau bersandar. Setelah motor kuparkir didepan warung bergegaslah
membeli snack dan minuman untuk bekal di danau nanti, sambil mencari rombongan
yang akan naik ke danau agar biaya lebih murah. Jika carter kapal aku harus
bayar Rp.100.000 tapi jika bareng rombongan lain cukup Rp.10.000 saja.
Dermaga labuan kelambu |
Aku bertemu pak
Amat yang kebetulan yang punya kapal, aku diberi penjelasan tarif perahu. Pun
dengan tarif ban serta kano didanau, disitu memang tidak ditulis “Disewakan”
tapi kalau dipakai ya harus bayar. Kadang ada beberapa oknum yang sengaja tidak
memberi tahu bahwa itu disewakan, supaya pengunjung bebas memakai dan
diharuskan membayar nanti diakhir episode. Namun berbeda dengan pak Amat yang
dengan baiknya menjelaskan kepadaku. Aku
juga sudah bercerita bahwa aku sebatang kara pak #tsah jadi mau cari rombongan
supaya lebih murah dan pak Amat pun menyuruhku menunggu. Aku menunggu rombongan
di warung yang dikelola istri pak Amat sembari makan sanggar pisang atau pisang
goreng yang kalau di Kalimantan makannya dicocol ke sambal kacang beda dengan
pisang goreng yang pernah aku makan di Pekalongan rasanya justru sangat manis
dan kurang cocok jika dicocol dengan sambal.
Tak lama ada
sekelompok keluarga dari kecamatan Biatan yang sedang berlibur, kebetulan
mereka juga akan menuju danau labuan cermin.
Pak Amat yang terlihat sibuk dari tadi menyuruhku segera naik ke kapal.
Aku sudah benar-benar tidak sabar melihat keindahan danau yang namanya sedang
dipuja-puja itu, air dipantai sepanjang perjalanan saja sudah bening apalagi
air di danau labuan cermin pikirku. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10
menit saja untuk sampai di danau labuan cermin. Hingga sebuah karang menghimpit
lalu melebar seperti muaranya air laut. Perlahan perahu mendekat ke bibir
danau, dan warnanya benar-benar berubah jadi biru bening dasarnya juga terlihat
dan udaranya sejuk sekali. Ya, danau itu bernama labuan cermin. Tempat berlabuhnya serpihan cermin terindah di bumi sanggam, yang konon dahulu adalh tempat bermandinya para permaisuri raja. Indah nian.
Labuan Cermin |
Aku buru-buru turun
dari kapal dan memilih menikmati kesejukan danau dari atas sebelum bermain-main
dengan airnya. Lama-lama tidak sabar juga melihat orang-orang pada main air
jadilah tanpa pikir panjang lagi langsung nyemplung dan berenang kesana kemari.
Aku berenang ke dekat pipa PDAM yang menurut beberapa blog yang aku baca,
disana adalah tempat ikan-ikan berkumpul. Namun sayang karena trip ini memang
mendadak jadi belum sempat pinjam mask dan hanya menggunakan kacamata renang
biasa yang kalau menyelam dikedalaman 4 meter saja hidung akan terasa panas.
Tapi cukup dengan snorkeling saja ikan-ikan yang bergerumun dibawah sana sudah
terlihat kok. Kedalaman di dekat pipa PDAM ini aku taksir sekitar 14 meter
berbeda dengan yang didekat dermaga yang kira-kira hanya 6 meter. Istimewanya
lagi ikan-ikan air asin itu tidak akan naik kebatas permukaan air asin yang
diatasnya sudah air tawar itulah salah satu keunikan danau labuan cermin selain
jernih juga memiliki dua rasa yang tak pernah menyatu (seperti aku dan kamu) Subahanallah.
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.
Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” (Q.S.
Ar-Rahman:19-20)
0 komentar: