Usai sudah trip di tanah Dewata,
Bali. Paduan budaya dan modernitas yang menyatu harmonis membuat saya sedikit
enggan untuk segera bertolak darinya. Selanjutnya Nusa Tenggara Timur menjadi
tujuan saya, yang telah menjadi angan sejak saya melihat gambar-gambar dalam
sebuah kalender di sebuah warung langganan saya ketika masih mengenakan seragam
putih abu-abu. Saya masih ingat sekali saat mata saya tidak pernah berhenti
memandangi keindahan Kelimutu meski hanya lewat gambar, lalu danau Segara
Anakan di halaman berikutnya dan Wae Rebo di Kalender usang lainnya. Sejak saat
itu saya hanya bermimpi dan berdo’a semoga kelak saya dapat berada langsung
disana, menikmati setiap inchi keindahan Tuhan yang atas ke Maha
Mushawiran-Nya, Dia lukiskan di Timur Indonesia.
Banjar Hot spring, Singaraja - Bali |
Saya sudah sangat ingin berada di
sebuah desa dilembah sebuah gunung. Singgah dirumah-rumah tradisional yang
atapnya mengerucut bernama mbaru niang. Menikmati secangkir kopi bersama tawa
yang memecah keheningan ditengah tipisnya kabut yang menggantung didahan pepohonan.
Merasakan emosi dari tanah, hutan serta
adat yang masih menyatu harmonis. Ya, saya sangat ingin bertandang pada tanah
warisan Empo Maro bernama Wae Rebo.
Lalu saya juga ingin melanjutkan
perjalanan menempuh 83 kilometer dari Maumere menuju desa Koanara dengan
pemandangan sepanjang perjalanan yang menakjubkan. Melebur bersama keramahan
orang-orang flores didalam kendaraan. Mendoakan arwah yang bersemayam
dikedalaman danau yang ajaib. Menyaksikan matahari terbit dari sudut yang
berbeda dan menjadi saksi keajaiban danau
tiga warna bernama Kelimutu.
Di dalam kapal dari pelabuhan
Padang Bae – Bali menuju pelabuhan
Lembar – Lombok saya bertemu orang flores, Pak Rafael namanya. Kebetulan saat
itu saya sedang berada dalam kegamangan antara menuntaskan angan masa sekolah
atau menundanya, bukan membatalkannya. Bersama kepulan asap rokok kretek yang
mengudara bebas di deck kapal, pak Rafael bercerita banyak tentang tanah
lahirnya itu, bagai duta wisata yang benar-benar tak tertandingi. Pesona Komodo
dan pantai-pantainya yang memukau, hingga tanah Wae Rebo dan Kelimutu yang
sudah saya impikan. Selain alamnya yang menawan orang-orangnya yang terkesan
sangar pun sebenarnya menyimpan keramah-tamahan yang sangat tulus dan
menyejukan. Pak Rafael juga menawari saya untuk ikut dengan mobilnya dengan
hanya membayar biaya sopir yang tentunya lebih murah daripada saya harus naik
bus dari Lombok menuju Labuan Bajo lalu menyambung lagi dengan Otokol menuju
Manggarai dan membayar biaya penginapan bila sampai malam hari.
Wae Rebo, gambar diambil dari tripadvisor.com |
Saya masih ragu, Bukan ragu takut ditipu atau
berbau kejahatan lainnya justru saya melihat ketulusan ingin membantu dari pak
Rafael, tapi sayang itinerary dan perhitungan budget saya memang diluar
rencana, mengingat trip ini masih panjang. Dan saya belum menghitung pasti
budget yang ada, saya pun berucap demikian pada pak Rafael, beliau pun
memberikan nasehat untuk mencari kawan terlebih dahulu agar biaya perjalanan
saya lebih murah. Akhirnya kami hanya bertukar nomor telepon dan sepakat bila memang
jadi kami akan bertemu kembali di Bima karena kebetulan beliau akan bermalam
sehari di Bima.
Selain pak Rafael saya juga
bertemu dengan mas Boby, mas Inggit, dan mas Ijul asal Surabaya. Usut punya
usut ternyata mereka hendak melakukan pendakian ke Rinjani. namun saya tidak
berfikir akan bergabung bersama mereka, ikut mendaki. Mendaki gunung Rinjani
pula. Meskipun saya bukan anggota keorganisasian pecinta alam namun saya cukup
akrab dengan teman-teman pecinta alam. Meskipun demikian, jam terbang pendakian
saya sangat minim bahkan hampir tidak pernah mendaki gunung selain Bromo yang
tentunya hanya mendaki tangga, kawan saya bilang. Namun bukan berarti saya
tidak suka gunung, sejujurnya dari sejak saya duduk dibangku sekolah saya
selalu ingin mendaki, namun cerita horror dari teman-teman tentang gunung
membuat nyali saya ciut dan gagal. Tapi saya percaya ketika kita punya mimpi
dan menyimpan rapi mimpi itu dalam kesungguhan, Tuhan akan bekerja dengan
keajaiban yang tidak akan pernah kita duga. Saya mengamini itu.
Cahaya alam mulai meremang
pertanda bulan akan segera menggantikan matahari, tepat kapal yang membawa saya
dari Padang Bae – Bali telah bersandar di pelabuhan Lembar – Lombok. Saya pak
Rafael, mas Bobby, mas Inggit, dan mas Ijul berpisah. Saya juga sudah bertukar
nomor telepon dengan arek-arek Suroboyo ini, kami sepakat akan bertemu kembali
di Mataram. Karena mereka menggunakan bus tujuan langsung Surabaya - Mataram
berbeda dengan saya yang masih berganti-ganti kendaraan dari Denpasar-Klungkung-Padang
Bae-Lembar-Mataram, jadilah kami tidak bisa barengan dari Lembar. Turun dari
kapal saya langsung mencari angkutan menuju Mataram, sekitar 45 Menit menuju
Mataram dari Lembar. Saya dan arek-arek Suroboyo ini sepakat bertemu di
Terminal Mandalika, lalu bersama-sama menuju Rumah Singgah, rumah yang
didedikasikan bagi para pelancong yang hendak berpetualang di Lombok, terletak
di BTN Taman Baru Jalan Bangil 6 – Mataram.
Jalanan kota Mataram sangat sepi
saya rasa, gelap seperti sedang terjadi pemadaman atau memang lampu jalan
memang sedang ada gangguan, entahlah. Tanahnya pun masih basah bekas hujan yang baru saja selesai
mengguyurnya. Padahal adzan maghrib baru saja selesai berkumandang, tapi jarang
saya lihat muda-mudi berkeliaran, mungkin karena masih belum masuk kawasan kota
pikir saya. Diperjalanan menuju Mandalika saya masih memikirkan tawaran pak
Rafael sembari menghubungi kawan-kawan dari Surabaya. Pikiran saya saat itu
benar-benar gamang, bila jadi berangkat sendiri ke Wae rebo jelas uang saya
sangat tidak cukup, sekalipun saya tidur di halte atau menumpang di gereja.
Karena ada pengeluaran yang mau tidak mau harus saya bayar untuk menghormati
masyarakatnya seperti biaya guide dan menginap di mbaru niang. Tentunya semua
itu akan lebih murah jika lebih banyak orang yang mau bergabung. Rumah singgah
harapan saya saat itu, saya ingin segera tiba disana berharap ada kawan-kawan
yang juga searah dengan tujuan saya, Wae Rebo atau setidaknya Kelimutu.
Segara Anakan Lake, dari puncak Rinjani |
Sesuai kesepakatan saya dan
kawan-kawan dari Surabaya kembali bertemu di terminal Mandalika dan langsung
melanjutkan perjalanan menuju rumah Singgah di BTN Taman Baru. Saya sudah tidak
sabar mengakhiri perjalanan panjang ini, sejenak menyegarkan badan di rumah
singgah yang katanya penuh keharmonisan. Benar saja, sesampainya di rumah
singgah saya bertemu banyak pelancong dari belahan nusantara. Jawa, Bali,
Sumatera, Jakarta, Kalimantan dan daerah lainnya. Namun yang terpenting niatan
sungkem dengan Mamak dan Bapak pemilik rumah singgah tuntas sudah. Kami
disambut hangat dan saling berbagi cerita, disini saya bertemu juga dengan mbak
Neti, asal Jakarta yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, Nusa Tenggara
Timur. Kami menyelaraskan itinerary dan budget, saya browsing berkali-kali namun sekali lagi sayang budget saya masih tidak
cukup untuk menjamah tanah Wae Rebo dan hanya cukup untuk menengok komodo dan
jajaran pantai indahnya. Malam itu saya masih bingung, lanjut atau tidak.
Disisi lain kawan-kawan asal Surabaya yang baru saya kenal di kapal ini
menawari saya untuk bergabung saja dalam pendakian Rinjani. Ah, makin pusing
saya dibuatnya.
Kelimutu, foto by floresexplore.com |
Entah kenapa hari itu saya
terlalu candu dengan dingin, sedang tidak ingin bermain dengan pasir dan
menyapa nemo dikedalaman sana. Saya hanya rindu dengan pepohonan, kabut tipis,
secangkir kopi, keramahan yang menghangatkan. Ya saya memang sedang ingin
kedataran tinggi, bila hanya bermain dengan pantai, Lombok masih cukup
memuaskan untuk itu semua. Akhirnya saya
kembali menghubungi pak Rafael, saya bercerita tentang keadaan keuangan saya
dan meminta maaf karena tidak jadi ikut dengan mobil beliau. Pak Rafael pun
memaklumi sambil menenangkan hati saya, benar pak Rafael bilang tanah flores
tidak akan kemana dan akan selalu menunggu saya. Ya, betul pak mungkin bukan
hari ini tapi entah kapan saya pasti kesana menuntaskan mimpi-mimpi saya.
Pasti. Sampaikan salam saya kepada Wae Rebo dan Kelimutu.
2 komentar:
nanti kita ka wae rebo sama kalimutu bareng😉
nanti kita ka wae rebo sama kalimutu bareng😉