Merdeka ! kata
penuh bara saat sengsara mendera, sebuah kata yang memercikan gairah kala
semangat tak lagi tersengat, kata penuh arti dalam pembangunan negeri ini. Sejak 17 Agustus 1945 negeri yang ku cinta
ini telah merdeka, sedikit lara ketika mengingat romusha, sedikit haru melihat
perjuangan bangsaku untuk maju, menerjang dan tak gentar menentang penjajahan,
tapi haruskah aku sebut ini sudah merdeka?
Sepuluh tahun yang
lalu, aku tak pernah peduli dengan kemerdekaan, yang aku tahu merdeka hanyalah
lomba makan kerupuk, lomba balap kelereng, lomba balap karung dan semua
lomba-lomba lainnya. Teringat pertanyaanku kala kecil kepada Alm.Kakek
“Mbah, sebenarnya agustusan (merdeka) ini apa
toh ?”
“Dulu waktu masih
jaman londo, orang-orang semua pada
perang, ndak ada satu orangpun yang
bisa makan nasi dari sawahnya sendiri, masih bisa makan singkong saja sudah
untung, agustusan ini yo kalau rakyatnya bisa makan nasi semua, mangkanya sinau sing rajin le”
Begitulah beliau
memaknai kemerdekaan hanya jika rakyatnya bisa makan nasi semua, baru negeri
ini bisa dikatakan merdeka. Berbeda dengan bu nyai Tumina, guru ngajiku yang
mengajar Al-kitab
“Bu nyai,
sebenarnya agustusan niki nopo njeh
?”
“Dulu kalau ada
orang sekolah di bedil (tembak) sama londo, pokoknya ndak boleh ada orang pintar, agustusan itu ya kalau bocah-bocah sudah pada sekolah”
Bu nyai Tumina
memaknai kemerdekaan ini dengan pendidikan, hanya jika rakyatnya sudah bisa
sekolah barulah bisa dikatakan medeka.
Setelah mendengar
jawaban kakek dan bu nyai bagiku kemerdekaan hanyalah omong kosong. Untuk apa
dikatakan merdeka jika aku masih memakan nasi karak (nasi basi yang dikeringkan dan direndam kembali diolah
menjadi nasi ), ironi ketika negeri ini
dikatakan merdeka tapi rakyatnya tak bisa memakan nasi, padahal tak jauh dari
rumahku sawah membentang luas, tapi kenapa aku masih tak bisa menikmati nasi
setiap hari? Sekolahku juga kacau, SPP yang nunggak berbulan-bulan dan LKS yang
belum di bayar-bayar memaksaku bekerja paruh waktu sebagai buruh angkut alat
dekor dan catering serta menjadi pelayan di pesta pernikahan orang-orang yang
ber-uang. Katanya pelajar tugasnya ya hanya belajar. Bukan hanya aku, teman-temanku
juga harus nyambi jualan nasi
bungkus, ada yang sebagai buruh panen ayam, ada juga yang jadi kuli angkut
pakan, semua dilakukan demi lembaran rupiah agar tetap bisa sekolah dan
semuanya juga untuk bangsa. Tak jarang aku dimarahi karena prestasi yang tak
juga meningkat, nilai yang selalu mrosot, atau menahan kantuk dikelas, tapi aku
masih membuka mata terus mencerna apa yang disampaikan guruku, tidak sampai
ketiduran seperti mereka yang terlelap saat harus mengurus rakyat. Semua
menyarankanku untuk berhenti bekerja, lantas siapa yang membiayai sekolahku? Visi
pemimpin yang katanya sekolah gratis itu kah ?, mana? Kalaupun ada aku juga
tidak harus bersusah payah seperti ini, untuk apa? aku juga ingin kok sekolah
tenang, belajar dan belajar, toh kalau pintar juga buat bangsa ini.
Handphoneku juga pernah disita gara-gara
menerima sms tentang tawaran kerja, bukan karena asik bermain sosial media, padahal
itu adalah mesin penghasil uangku untuk bisa terus sekolah, Tapi kenapa? Mereka
yang saat harus mengurus rakyat malah asik bermain sosial media, handphonenya
tidak pernah disita? Aneh. Sedih mengingat saat nenekku harus mengurungkan
niatnya untuk bekerja mandiri sebagai penjual nasi pecel, karena tak ada modal
padahal keinginannya kuat, kalaupun pinjam bunganya mencekik, tapi kenapa tak
ada satupun dari mereka yang mendengar rintih nenekku katanya wakil rakyat tapi
kok tidak merakyat, dulu waktu kampanye katanya mau mendengar suara rakyat,
bagaimana bisa mendengar kalau merakyat saja ogah. Sekarang aku juga tahu kenapa dulu aku tidak bisa makan nasi,
ya karena pencuri, pencuri uang rakyat. Gara-gara mereka dulu aku hanya bisa
makan nasi karak, jangan-jangan gara-gara mereka juga aku dan teman-temanku
harus bekerja demi melanjutkan sekolah? Mungkin juga karena si pemberi harapan
palsu yang visinya mengentaskan kemiskinan dan pendidikan gratis, tapi mana? tidak
realistis. Ah sudahlah, tersayat rasanya jika dihianati wakil rakyat.
Mengingatnya hanya
akan membuat emosi dan semakin membuat sakit hati, untuk apa aku terus
menggerutu dengan tulisan-tulisan tak berguna ini, ada baiknya aku berusaha
pada sebuah realita demi bangsa dan negara yang kucinta ini. Aku percaya bahwa
tidak semua wakil rakyat tidak memihak pada rakyat, pasti masih ada orang-orang
suci yang tulus membangun negeri ini. Dewan perwakilan adalah sebuah kesatuan
maka jika tidak benar-benar dijaga yang putih akan tertutup yang hitam, tapi
aku masih percaya membangun negeri ini memang tidak mudah, butuh proses lama
untuk merdeka pada kata yang sesungguhnya. merdeka bukan berarti tanpa masalah,
tapi merdeka ketika berhasil kita hadapi bersama, aku percaya jika rakyat dan
wakil rakyat bersatu semua pasti mampu. Percuma jika pemerintah membuat program
seapik apapun tapi tak ada dukungan
dari rakyatnya, begitupun pemerintah akan selalu dipandang sebelah mata oleh
rakyatnya jika tetap tidak bisa menjaga kepercayaan yang diberikan oleh
rakyatnya.
68 tahun yang lalu,
betapa harmonisnya rakyat dan wakil rakyat bersatu, maju, menerjang, mendobrak
bersama-sama mengentaskan penjajahan, dengan bambu runcing di tangan, dengan
semangat garuda di dada, dengan keikhlasan berkorban demi bangsa, demi negara
yang saat ini tanahnya kita pijak. Dulu memang perang senjata, namun sekarang
bukan lagi jamannya sekarang jamannya perang pikiran. Jika dulu rakyat dan
wakilnya bisa bersatu dalam perang senjata, harusnya saat ini kita jauh lebih
bisa bersatu dalam perang pikiran, semuanya dilakukan untuk bangsa untuk satu
kata. MERDEKA !