Grab the RSS feed

Judul Tak Tersurat (17 Agustus 2013)


Merdeka ! kata penuh bara saat sengsara mendera, sebuah kata yang memercikan gairah kala semangat tak lagi tersengat, kata penuh arti dalam pembangunan negeri ini.  Sejak 17 Agustus 1945 negeri yang ku cinta ini telah merdeka, sedikit lara ketika mengingat romusha, sedikit haru melihat perjuangan bangsaku untuk maju, menerjang dan tak gentar menentang penjajahan, tapi haruskah aku sebut ini sudah merdeka?
 
Sepuluh tahun yang lalu, aku tak pernah peduli dengan kemerdekaan, yang aku tahu merdeka hanyalah lomba makan kerupuk, lomba balap kelereng, lomba balap karung dan semua lomba-lomba lainnya. Teringat pertanyaanku kala kecil kepada Alm.Kakek 

Mbah, sebenarnya agustusan (merdeka) ini apa toh ?”

“Dulu waktu masih jaman londo, orang-orang semua pada perang, ndak ada satu orangpun yang bisa makan nasi dari sawahnya sendiri, masih bisa makan singkong saja sudah untung, agustusan ini yo kalau rakyatnya bisa makan nasi semua, mangkanya sinau sing rajin le

Begitulah beliau memaknai kemerdekaan hanya jika rakyatnya bisa makan nasi semua, baru negeri ini bisa dikatakan merdeka. Berbeda dengan bu nyai Tumina, guru ngajiku yang mengajar Al-kitab
“Bu nyai, sebenarnya agustusan niki nopo njeh ?”

“Dulu kalau ada orang sekolah di bedil (tembak) sama londo, pokoknya ndak boleh ada orang pintar, agustusan itu ya kalau bocah-bocah sudah pada sekolah”  

Bu nyai Tumina memaknai kemerdekaan ini dengan pendidikan, hanya jika rakyatnya sudah bisa sekolah barulah bisa dikatakan medeka.

Setelah mendengar jawaban kakek dan bu nyai bagiku kemerdekaan hanyalah omong kosong. Untuk apa dikatakan merdeka jika aku masih memakan nasi karak (nasi basi yang dikeringkan dan direndam kembali diolah menjadi nasi ), ironi  ketika negeri ini dikatakan merdeka tapi rakyatnya tak bisa memakan nasi, padahal tak jauh dari rumahku sawah membentang luas, tapi kenapa aku masih tak bisa menikmati nasi setiap hari? Sekolahku juga kacau, SPP yang nunggak berbulan-bulan dan LKS yang belum di bayar-bayar memaksaku bekerja paruh waktu sebagai buruh angkut alat dekor dan catering serta menjadi pelayan di pesta pernikahan orang-orang yang ber-uang. Katanya pelajar tugasnya ya hanya belajar. Bukan hanya aku, teman-temanku juga harus nyambi jualan nasi bungkus, ada yang sebagai buruh panen ayam, ada juga yang jadi kuli angkut pakan, semua dilakukan demi lembaran rupiah agar tetap bisa sekolah dan semuanya juga untuk bangsa. Tak jarang aku dimarahi karena prestasi yang tak juga meningkat, nilai yang selalu mrosot, atau menahan kantuk dikelas, tapi aku masih membuka mata terus mencerna apa yang disampaikan guruku, tidak sampai ketiduran seperti mereka yang terlelap saat harus mengurus rakyat. Semua menyarankanku untuk berhenti bekerja, lantas siapa yang membiayai sekolahku? Visi pemimpin yang katanya sekolah gratis itu kah ?, mana? Kalaupun ada aku juga tidak harus bersusah payah seperti ini, untuk apa? aku juga ingin kok sekolah tenang, belajar dan belajar, toh kalau pintar juga buat bangsa ini.

Handphoneku juga pernah disita gara-gara menerima sms tentang tawaran kerja, bukan karena asik bermain sosial media, padahal itu adalah mesin penghasil uangku untuk bisa terus sekolah, Tapi kenapa? Mereka yang saat harus mengurus rakyat malah asik bermain sosial media, handphonenya tidak pernah disita? Aneh. Sedih mengingat saat nenekku harus mengurungkan niatnya untuk bekerja mandiri sebagai penjual nasi pecel, karena tak ada modal padahal keinginannya kuat, kalaupun pinjam bunganya mencekik, tapi kenapa tak ada satupun dari mereka yang mendengar rintih nenekku katanya wakil rakyat tapi kok tidak merakyat, dulu waktu kampanye katanya mau mendengar suara rakyat, bagaimana bisa mendengar kalau merakyat saja ogah. Sekarang aku juga tahu kenapa dulu aku tidak bisa makan nasi, ya karena pencuri, pencuri uang rakyat. Gara-gara mereka dulu aku hanya bisa makan nasi karak, jangan-jangan gara-gara mereka juga aku dan teman-temanku harus bekerja demi melanjutkan sekolah? Mungkin juga karena si pemberi harapan palsu yang visinya mengentaskan kemiskinan dan pendidikan gratis, tapi mana? tidak realistis. Ah sudahlah, tersayat rasanya jika dihianati wakil rakyat. 

Mengingatnya hanya akan membuat emosi dan semakin membuat sakit hati, untuk apa aku terus menggerutu dengan tulisan-tulisan tak berguna ini, ada baiknya aku berusaha pada sebuah realita demi bangsa dan negara yang kucinta ini. Aku percaya bahwa tidak semua wakil rakyat tidak memihak pada rakyat, pasti masih ada orang-orang suci yang tulus membangun negeri ini. Dewan perwakilan adalah sebuah kesatuan maka jika tidak benar-benar dijaga yang putih akan tertutup yang hitam, tapi aku masih percaya membangun negeri ini memang tidak mudah, butuh proses lama untuk merdeka pada kata yang sesungguhnya. merdeka bukan berarti tanpa masalah, tapi merdeka ketika berhasil kita hadapi bersama, aku percaya jika rakyat dan wakil rakyat bersatu semua pasti mampu. Percuma jika pemerintah membuat program seapik apapun tapi tak ada dukungan dari rakyatnya, begitupun pemerintah akan selalu dipandang sebelah mata oleh rakyatnya jika tetap tidak bisa menjaga kepercayaan yang diberikan oleh rakyatnya. 

68 tahun yang lalu, betapa harmonisnya rakyat dan wakil rakyat bersatu, maju, menerjang, mendobrak bersama-sama mengentaskan penjajahan, dengan bambu runcing di tangan, dengan semangat garuda di dada, dengan keikhlasan berkorban demi bangsa, demi negara yang saat ini tanahnya kita pijak. Dulu memang perang senjata, namun sekarang bukan lagi jamannya sekarang jamannya perang pikiran. Jika dulu rakyat dan wakilnya bisa bersatu dalam perang senjata, harusnya saat ini kita jauh lebih bisa bersatu dalam perang pikiran, semuanya dilakukan untuk bangsa untuk satu kata. MERDEKA !

1 komentar:

  • Iman Rabinata mengatakan...

    merdeka...*mikir-mikir... "apa ya?" hehe

  •