Grab the RSS feed

Bromo Punya Cerita


“Bromo. Tak hanya megah dengan panoramanya, tak hanya indah oleh simfoni alamnya, bromo juga punya kisah, kisah usang yang akan selalu aku kenang. Aku mencoba mengingat kembali serpihan kenangan dua tahun lalu saat keyakinan, kemauan dan kebersamaan menghasilkan energi maha dahsyat hingga mampu mengantarkan kami bertiga pada puncak gunung dengan panorama luar biasa. Bromo”

Momen malam
Api unggun telah menyala, stock kayu bakar cukup sampai mentari kembali menjadi penghangat sempurna esok hari, tenda terpancang kokoh, logistik tertata rapi, senesting kopi menjadi penghangat didinginnya gunung bromo ini. Kami larut dalam simfoni malam bercengkrama didepan bara unggun, diatas gelaran matras sembari memuja lukisan Tuhan yang maha indah ini. Kamp, memang selalu asik ketika bulan telah sempurna menggantikan matahari, seruputan kopi menjadi pendamai luar biasa, pelebur kebersamaan setelah seharian berjuang. Memandangi langit dengan jutaan bintang menghiasinya, melarutkanku pada ingatan  perjalanan tadi pagi hingga saat ini kami bertiga sampai pada titik ini.


Aku, Pegek, dan Jaliteng kami bertiga adalah bocah Indonesia yang doyan berpetualang sepakat melakukan perjalanan bersama menuju gunung bromo. Perjalanan ini dimulai dari terminal tawang alun kabupaten Jember, kami bertiga hanya memiliki dana kurang lebih Rp.55.000 karena masing-masing dari kami hanya membawa uang sekitar Rp.18.000 dan dari sinilah awal perjuangan terasa berat. Tarif Jember – probolinggo diluar perhitungan Rp.15.000 perorangnya, tentunya kami sedikit gelisah, setelah tawar-menawar sambil memelas pada kondektur bus akhirnya kami bertiga berhasil mendapatkan harga Rp.25.000 untuk tiga orang meski harus makan hati melihat raut wajah kondektur yang sedikit marah tapi. Sudahlah. Perjalanan berlanjut, aku hanya memandangi deretan rumah yang berganti-ganti dari dalam bus, sesekali aku membayangkan ini adalah perjalanan teraneh, kami bertiga tak tahu betul kondisi medan seperti apa dan biaya transportasi kesana berapa hanya bermodalkan keinginan saja, entahlah berhasil atau tidak yang jelas saat ini aku sudah memulai perjalanan.

Setibanya di terminal Probolinggo, banyak sopir mendatangi kami dan menawarkan tarif beraneka ragam dari Rp.40.000 ada yang Rp.30.000 tentu saja kami menolaknya dan memilih berjalan kaki mengikuti petunjuk dipapan hijau. Tak ada pilihan lain selain melakukan hitch hiking style, melambaikan tangan pada kendaraan yang lewat berharap ada yang sudih memungut kami. Kami terus berjalan dibawah teriknya matahari yang begitu menyengat, debu yang bertebaran, suara kendaraan yang lalu-lalang sesekali asap knalpot menabrak badan kami. Kaki memang lelah tapi semangat tetap ada, aku tak lagi memikirkan ketidakyakinan, yang aku tahu saat ini aku dan kedua kawanku telah memulai sebuah perjalanan dan kami harus berhasil. Kami terus berjalan berusaha menghapus lelah dengan gurauan. Bergantian melambaikan tangan dan terus berjalan hingga pada jarak kurang lebih 8 kilometer sebuah mobil bak terbuka berhenti, merespon kode kami dan memberikan tumpangan.

Bahagia, bangga, lega dan gila rasanya ketika kaki ini kuluruskan, gerah dan lelah tersapu angin yang terasa sepoy menghempas badanku. Hanya teriakan-teriakan kecil yang ku lontarkan pada kedua kawanku ini sebagai tanda betapa bahagianya aku, ini adalah pengalaman pertamaku melakukan perjalanan dengan hitch hiking style dan rasanya benar-benar nikmat setelah lelah berjalan dan akhirnya mendapatkan tumpangan. Saling mengolok dan merangkul sembari berteriak dan tertawa bahagia, indah, inilah indahnya persahabatan. Mobil yang kami tumpangi ternyata memiliki tujuan yang berbeda akhirnya kami berhenti, setelah mendapat petunjuk arah dari pemilik mobil dan berpisah dengan ucapan terimakasih kami melanjutkan perjalanan mengandalkan sepasang kaki yang sempurna Tuhan anugerahkan sebab kami sisa uang akan digunakan untuk membeli bahan  makanan tak ada pilihan lain kami kembali melakukan hitch hiking style

Kaki ini harus terus melangkah kerikil jalanan kami tendang, bising kendaraan kami tak pedulikan, keraguan kami buang, keyakinan kami munculkan dalam ikatan kebersamaan, yang jelas kami harus berhasil.harus. Perjalanan kali ini tak begitu  menguras tenaga sebab mentari yang mulai meneduh, banyolan-banyolan kecil mewarnai perjalanan kali ini, sesekali bergantian membawa carier  sambil terus memberikan kode pada kendaraan yang lewat, entahlah kami sudah berjalan berapa kilometer hingga sebuah mobil dengan bak terbuka berhenti, tanpa panjang lebar kami segera melompat ke atas mobil dan perjalanan berlanjut. Tak lama mobil terhenti pada sebuah warung rupanya pak de sopir sedang menunggu kawannya, kebetulan kami juga belum membeli bahan makanan mengumpulkan sisa rupiah yang ada di kantong dan menggantinya dengan bungkusan rokok, mie instan, masako, korek api dan bahan lainnya hingga tak ada lagi rupiah yang tersisa di kantongku. Sembari menunggu pak de sopir berangkat lagi, kami mengisi botol air mineral yang sudah kosong, lama menunggu hingga matahari menghilang pak de menyuruh kami naik kembali keatas bak mobil.

Mobil terhenti di sebuah tempat, setelah mendapat petunjuk dari pak de bahwa sekitar 20 kilometer lagi kami akan sampai di gunung bromo. Berakhir dengan ucapan terimakasih kami berpisah dan melanjutkan perjalanan, jika siang tadi kami harus melawan teriknya matahari kali ini kami harus melawan rasa dingin dan gelapnya malam. Kami terus melangkah memecah keheningan dengan saling bercengkrama. Hampir 18 kilometer kami berjalan, sebenarnya jika kakiku dapat berbicara mungkin dia akan marah dan menyuruhku untuk berhenti, pundak juga terasa berat dengan beban ransel tapi aku terus menahan mulutku agar tak mengeluarkan keluhan sebab aku tahu mereka juga lelah, sambil terus berjalan sesekali berhenti meneguk minuman dan kembali berjalan hingga kami temukan sebuah pusat keramaian, deretan penginapan dan beberapa rumah makan dengan gemerlap lampu yang menghiasi, tak jauh dari keramaian ini terdapat tiang-tiang pembatas antara jalan aspal dan lautan pasir. Terkejut, saat sebuah gunung terlihat gagah mentereng disiram cahaya bulan, itu bromo. Itu bromo. Huh! Lega dan lelah tak lagi mendera, kaki yang mengeluh seolah ingin segera melangkah.

Air dalam botol hanya tersisa kurang lebih 350 ml, kami memutuskan untuk mencari sumber air. Dari kami bertiga tak ada yang mengerti kondisi medan di gunung bromo hanya berbekal cerita dari teman-teman yang sudah pernah ke bromo dan informasi dari internet. Dalam kondisi yang lelah seperti ini emosi akan mudah membuncah, Jaliteng memilih untuk melakukan pencarian sumber air yang entah dimana, Pegek yang ingin pergi ke api unggun yang menyala dari kejauhan, sedang aku mengincar wc umum yang terlihat dari kejauhan. Jaliteng masih kokoh dengan opininya karena aku rasa diantara kami bertiga jaliteng yang menjadi kepala suku aku memilih ngikut saja tanpa mengeluh sedikitpun meskipun sebenarnya aku sudah lelah. Meskipun kontur medan landai namun lika-likunya membuat tulang-tulangku terus merintih. Kami terus berjalan hanya berbekal cahaya dari senter dengan pandangan yang terbatas. Semakin lelah, semakin pasrah kami terus berjalan menanjak dan terus mencari tapi tak juga kami temukan sumber air sampai pada sebuah tempat yang terdapat beberapa tempat duduk terbuat dari balok kayu dan beberapa tempat sampah. Pegek yang begitu kehausan menemukan botol bir dari sebuah tong sampah yang masih berisi beberapa ml, mau tak mau untuk sekedar membasahi tenggorokan dan melawan dingin yang mulai datang kami meminum sisa bir dari tong sampah yang diperoleh Pegek. 

Kami terus mencari, sebenarnya aku ingin marah ingin berargumen, aku sudah lelah, aku ingin berhenti tapi aku terus mencoba menahan semua kalimat yang ingin aku lontarkan, karena aku tahu mereka juga lelah. Pegek mulai menegur Jaliteng yang terus kokoh mencari sumber air di lautan pasir ini, Jaliteng yang emosi membentak Pegek dan perdebatan semakin panas, aku memilih diam meski sebenarnya juga ingin membantah, Jaliteng yang emosi memutuskan untuk jalan sendiri. Kami bertiga sempat terpisah, Jaliteng yang memilih terus berjalan, Pegek yang entah jalan kemana, sedang aku jalan menuju tempat yang lebih tinggi. Emosi kadang mebutakan segalanya, entahlah aku juga sudah lelah mau marah takut salah dan hanya bisa berteriak ah! Lalu pergi. Kabut benar-benar mengaburkan pandanganku tak lama Jaliteng memanggil nama Pegek dan aku begitupun Pegek, sedang aku memilih tersenyum. Inilah indahnya persahabatan kadang membutuhkan waktu sendiri untuk meredam emosi, dan seemosi apapun rasa kasih itu pasti akan selalu terpatri dalam hati. Akhirnya kami bertiga saling bertemu saling memukul dan kembali dalam banyolan.Pikiran kami bertiga mulai jernih, setelah berputar-putar pada medan yang kami tak tahu betul akhirnya sepakat menuju wc umum dan ternyata terdapat air mengalir disitu. Tak jauh dari tempat pengambilan air terdapat lokasi pendirian tenda yang nyaman dengan tanah yang datar dan terdapat serakan kayu serta sampah plastik yang dapat dijadikan bara unggun. 

Benar-benar lelah namun semua ini luar biasa. Mengingat awal perjumpaan kami, lelahnya berjalan kaki berkilo-kilo meter, hingga girangnya mendapatkan tumpangan, perdebatan pencarian air, hingga kita bisa saling merangkul seperti saat ini. Kini aku paham uang bukanlah modal utama dalam menggapai sesuatu tapi kemauan, kegigihan, dan keyakinan akan mengantarkan pada sesuatu yang akan digapai. Sahabat bukan tentang suka, bahagia, tawa di puncak tapi sahabat senantiasa setia dalam lelah, duka, emosi selama diperjalanan. Kebersamaan kami, keyakinan kami, kemauan kami yang mengantarkan kami sampai pada tempat ini. Entahlah apa indahnya gunung akupun tak tahu mengapa harus sengotot ini, jika ingin tahu mendakilah karena keindahanya bukan hanya ada dimata tapi juga bisa dirasa. Aku tak menyesal atas lelah yang Tuhan berikan, aku bersyukur Tuhan tak melancarkan perjalanan sebab keindahan semesta benar-benar terasa saat aku telah berjuang maksimal dengan lika-liku medan yang Tuhan berikan. Aku segera tersadar dari lamunanku, tertawa kecil dan segera  memasuki tenda, menahan dingin yang mulai meraba.

Bromo. Tak hanya memberiku sebuah panorama tapi dia juga memberikanku sebuah cerita hingga aku percaya bahwa setiap gunung pasti punya cerita dan suatu hari nanti aku akan menjemput cerita-cerita itu kembali. Gunung!

Dokumentasi yang tersisa.

Di bak mobil terbuka


Di bak truck saat pulang menuju Lumajang

Galau hahahaha :D
Kami bertiga
Pegek dan aku




Teluk Hijau


Tak akan pernah ada habisnya jika bicara tentang bahari di negeri yang ku cinta ini. Teluk hijau salah satu pantai yang elegan ini terletak di desa Sarongan kecamatan Pesanggaran kabupaten Banyuwangi, memang benar-benar cantik secantik penari gandrung Banyuwangi. Tentunya untuk mendapatkan wanita secantik penari gandrung aku harus berjuang dengan sepenuhnya, sama halnya seperti perjalanan menuju teluk hijau, sebelum dapat mencium bibir pantai yang konon masih alami ini aku harus berjalan melewati medan yang lumayan menguras tenaga, tapi terbayar dengan panoramanya yang benar-benar gila. Gila keren abis!

Berangkat dari kediaman mbak Ana di desa Gumukmas kabupaten Jember pada pukul 02.00 WIB, mobil elf yang kami sewa meluncur menuju stasiun Jember untuk menjemput beberapa anggota team yang sedang menunggu disana. Aku dan yang lain segera turun dari mobil dan menyambut kawan-kawan yang sudah menunggu sedari tadi, pertemuan di stasiun Jember diwarnai kebahagiaan sampai mobil kembali melaju melanjutkan perjalanan. keceriaan mendominasi suasana dalam mobil, saling mengolok menjadi hal konyol yang dapat mengukir tawa, tak ada yang tersinggung, semua tertawa ceria dan begitulah cara kami untuk bahagia, hingga riuhnya tawa berubah menjadi sunyi, semakin senyap dan hening, perlahan tawa menghilang ditelan gelapnya malam. Tak banyak yang kuingat tentang perjalanan menuju teluk hijau, hanya sampai gunung gumitir mataku sudah tak kuat menahan kantuk sebab perjalanan panjangku dari Samarinda menuju kabupaten Jember ditambah aku harus berdiri didalam bus dari Surabaya sampai Probolinggo membuat badanku harus beristirahat meski sejenak. Bersama suasana yang mulai hening kelopak mataku memberat menyatu hingga semuanya gelap dan aku tak lagi tahu apa yang terjadi saat itu (baca : tidur).

Suasana dalam mobil
Medan yang tak mulus membuat badanku terhempas hingga kepalaku membentur kursi didepanku, sontak aku terbangun entah ini sudah sampai mana, aku hanya melihat sebuah perkampungan di tengah perkebunan karet , jalanan beraspal tak rata, pepohonan karet membentang luas sepanjang jalan sesekali melihat warga dengan sepeda kayuhnya. Mobil terus melaju, aku memang masih tak seutuhnya hidup karena mata yang masih belum begitu segar, hingga sebuah gerbang bertuliskan Taman Nasional Meru Betiri mengejutkan pandanganku. Ya, itu artinya aku hampir sampai di tempat tujuan. Teluk hijau. Mengejutkan,  karena baru saja terjaga dan seolah tak percaya bahwa aku hampir sampai, tersimpan bahagia dalam lelah yang tak bisa terekspresikan dalam wajah. Mobil berhenti didepan pos pemerikasaan, sambil menunggu mas Agus dan mas Thoriq melapor aku memilih berjalan memandangi hijaunya sekitar, sedang yang lain memilih berfoto-foto di depan gerbang. Masih sangat pagi sekitar pukul 07.00 WIB tak ada satupun petugas di pos pemeriksaan, lama menunggu petugas tak kunjung datang akhirnya setelah berfoto bersama, aku dan kawan-kawan sepakat memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa melapor sebelumnya dan memilih melapor nanti saat pulang dari teluk hijau.

Jalan menuju desa Sarongan
Mobil terparkir di halaman rumah salah seorang warga, lelahnya perjalanan seolah terhapus dengan keramahan warga desa Sarongan. Daun pisang di gelar sebagai alas sarapan pagi, mbak Ana segera mengeluarkan sarapan rakyat (nasi gulung, oseng-oseng tempe, sambal petis, dan kerupuk), sebelum tracking kami semua harus mengisi perut menyiapkan tenaga karena katanya medan yang akan dilalui lumayan susah. Momen makan bersama seperti ini memang selalu asik, seolah benar-benar merasakan Bhineka tunggal ikanya Indonesia. Tak ada perbedaan pria, wanita, tua, muda semua sama, melebur menjadi satu dalam satu wadah, makanan yang biasapun tampak istimewa karena kebersamaan yang tak ternilai harganya ini mampu membunuh sesuatu yang biasa. Perut sudah menghentikan bunyinya tenaga kembali bergairah, nasi dan lauk yang tadinya menumpuk diatas gelaran daun pisang tak tersisa lagi. Seusai membersihkan sisa-sisa makanan dan plastik kerupuk, aku dan kawan-kawan akan melanjutkan perjalanan, tak lupa juga mengucapkan terimakasih pada pemilik rumah yang telah memberi ijin untuk makan diteras rumahnya. 
 
Suasana makan bersama
Ransel sudah siap dengan barang-barang yang diperlukan selama di pantai nanti. Awalnya aku mengira bahwa menuju pantai ini mudah saja, seperti menuju pantai-pantai sebelumnya yang aku pernah kunjungi, tapi ternyata aku harus berjalan kurang lebih 1,5 km dengan medan yang lumayan terjal, namun inilah letak istimewanya teluk hijau. Perjalanan di mulai, hanya medan dengan kontur landai tak begitu menguras tenaga, pemandangan hijau di samping kiri-kanan jalan membuat perjalanan terasa segar, hingga kurang lebih 500 meter berjalan, sebuah gubuk dan papan hijau petunjuk arah menghentikan langkahku melepas lelah sembari mengabadikan momen bersama kawan-kawan, papan hijau ini memberikan petunjuk arah menuju goa jepang, habitat raflesia dan lainnya namun aku tak boleh tergiur, harus tetap pada tujuan utama, teluk hijau. Tak jauh berjalan dari papan tadi aku menemukan tanah yang di bentuk menjadi undak-undak, ini menjadi awal medan yang sebenarnya. Medan mulai menanjak, membelok, sesekali harus melewati tebing yang jika terpeleset, jurang terjal siap menangkap. 

Awal medan
Beban ransel semakin terasa, otot kaki semakin menegang, mata terus menatap kemedan, seolah leher  tak mengijinkan menengok ke kiri jalan sebab jurang curam  terlihat begitu menyeramkan. Keringat mulai membasahi badanku, panas, gerah, lelah. Hanya pertanyaan-pertanyaan konyol yang memenuhi kepalaku 

“Seindah apa sih teluk hijau? Sampai segini susahnya!”

sampai pemandangan pantai yang menawan dari atas memecahkan pertanyaanku, menghentikan langkah kakiku, menghapus keringat dan lelah yang sudah mendera. Pesona teluk hijau dari ketinggian semakin mengudang gairah untuk segera mendekatinya, Indah. Benar-benar indah,  keindahannya menyuntikan semangat untuk kembali melangkah. 

Dari ketinggian
Masih jauh! Digubuk tadi tadi aku melihat papan petunjuk arah bertuliskan “teluk hijau 1 km”, aku merasa ini sudah lebih dari 1 km, mungkin aku benar atau karena medan yang terjal dan berliku membuatku merasa jalan begitu jauh. Sesekali beristirahat mengairi tenggorokan dan kembali berjalan hingga pada medan yang kembali landai. Terdengar gemericik batu yang terhempas ombak, terlihat hempasan ombak dibibir pantai, aku berlari dan terduduk sejenak diatas batu pinggiran pantai, ini adalah pantai batu tetangganya teluk hijau. keunikan dari pantai batu ini adalah irama yang ditimbulkan dari batu-batu yang dihempas ombak menciptakan nada yang mampu menghapus lelah setelah berjalan  dengan medan yang benar-benar gila !

Pantai batu tetangganya teluk hijau
Wow! Kata yang terucap pertama kali saat mata memandang kedepan seusai melewati pepohonan, setelah kaki berhasil melewati medan yang curam, semua terbayar dengan pemandangan yang benar-benar keren abis ! dan inilah teluk hijau dengan segala kemegahannya, hijau yang berbaur dalam birunya laut, pepohonan dan tebing-tebing yang gagah semua menjadi satu menciptakan panorama penuh rona. Bibir pantai yang begitu menawan dengan pasir putih dan desiran angin serta hempasan ombak kian menambah kecintaanku pada pantai ini. Sayang jika tak menyeburkan diri ke dalam pantai. Terus, lagi dan lagi aku berlari dipasir pantai yang lembut ini, tak ada bosannya, lelah terbayar dengan pantai yang begitu menawan.

Teluk hijau

Seusai bermain bersama air laut badan serasa lengket, perut kembali lapar, dahaga kembali melanda. Di pojokan pantai terdapat sebuah tebing yang mengalirkan air tawar yang dapat digunakan untuk membilas badan dan pakaian. Bersandar di tebing dan membiarkan air tawar jatuh membasahi badan menjadi therapy istimewa sembari memandang ke arah pantai yang begitu mempesona, memanjakan mata dengan melihat hijaunya sekitar. Tak terlihat banyak orang di pantai ini selain karena medan yang harus di lalui cukup berat keindahan pantai teluk hijau ini belum begitu terdengar dimana-mana, itulah sebabnya pantai ini masih sangat alami, dan menjadi tugas setiap wisatawan agar selalu menjaga kebersihan dan kealamian tempat ini, agar tetap indah dan awet muda.

 
pengganti kamar mandi

Sambil menunggu keringnya baju aku dan kawan-kawan berkumpul di tempat teduh. Nesting, kompor dan semua ransum di keluarkan, mie instan selalu menjadi menu andalan disaat-saat seperti ini. Lagi-lagi hal yang sederhana menjadi istimewa karena kebersamaan yang begitu indah, usai menyantap mie bersama-sama, kopi menjadi menu penutup. Sembari menikmati seruputan kopi, kebersamaan melebur dalam cengkrama ditepi teluk hijau yang benar-benar menyegarkan segalanya. 

Menunggu mie instan

Teluk hijau. Keindahan yang memang benar-benar menyegarkan sesuai namanya.Teluk hijau. Hijau yang identik dengan kesegaran dan pantai ini benar-benar segar selain segar karena pemandangannya yang wow banget!  Medan yang berat juga menjadi bagian istimewa karena medan inilah kesegaran teluk hijau semakin terasa wah! Karena lelah selama tracking akan terbayar dengan panorama yang hijau dan seger abis! Dari medan ini juga aku belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang benar-benar indah itu tidak mudah, begitu juga dengan kehidupan, cita, dan cinta. (wkwkwkwk :D)

Aku dan teluk hijau


Terimakasih kepada 17 Pendekar