Grab the RSS feed

Sesuatu yang Kusebut Cinta



Aku masih terpaku pada cahaya yang menyembul didepanku, ku biarkan cahaya itu menyirami wajah yang telah berjuang melawan serangan dingin pagi tadi. Perlahan, semesta mulai memberikan kehangatannya yang mulai menelisik memasuki pori-pori kulitku. Menikmati saat-saat terindah matahari mulai bekerja, merasakan suasana kota yang masih tidak berdetak sempurna. Aku selalu tersenyum jika memandang Jembatan mahakam yang terbentang menghubungkan dua tempat itu. Selalu terlarut dalam buaian bisikan-bisikan indah ketika memandangi Jembatan itu. Aku tidak pernah tahu apa istimewanya jembatan itu, mengapa setiap orang yang baru bertandang di Samarinda selalu penasaran dengan jembatan itu, padahal menurutku jembatan itu biasa saja. Tidak sepanjang Suramadu, atau seunik Barito. Jembatan mahakam memang biasa saja, tapi mengapa aku jatuh cinta padanya? Aku tidak pernah tahu, bukankah cinta tidak butuh alasan?

Cinta. Aku masih tidak terlalu dewasa untuk berbicara tentang cinta. Cinta adalah sebuah kata yang sakral untuk aku definisikan. Bagiku dia hanya sang pemberi kesakitan, sang pemberi kedukaan. Bagimana tidak? di negeriku sering terjadi kasus pembunuhan, asusila, dan bahkan rusaknya moral anak bangsa pun kadang mengatas namakan cinta. Tak jarang pula aku melihat wanita yang menggoreskan kaca dilengannya hingga berdarah, menyakiti dirinya atas nama cinta. Ya, betapa bedebahnya cinta, ia mampu membuat orang menangis, menderita bahkan menjadi sangat rapuh.  

Aku masih mengutuk cinta, aku belum percaya bahwa cinta itu indah, aku belum percaya bahwa cinta itu bahagia. Bahkan selama ini aku masih terlena dalam nestapa jika mengingat senyum seseorang yang dulu aku menyebutnya cinta. Dia adalah seseorang yang akan terasa sakit bila ku ingat namun juga suIit untuk kulupa. Dia adalah realita masa lalu yang sampai saat ini masih menyisahkan luka. Luka itu masih membekas, seperti kata pepatah meskipun paku yang ditancapkan di dinding itu telah dicabut, lubang didinding itu tidak akan hilang. Sama seperti yang aku rasakan bahkan mungkin dia juga merasakannya.

Rupiah kadang menjadi alasan seseorang meninggalkan cinta. Semasa kecil aku selalu iri dengan kawan-kawanku yang bahagia dengan cinta dari Ayah Ibunya. Aku selalu merasa terkucilkan ketika waktu pembagian rapor kenaikan kelas telah tiba. Meja untuk orang tuaku selalu kosong, kalaupun ada yang mengisi adalah kakaku atau kakak alumni yang akrab denganku. Padahal aku selalu berharap Ayah atau Ibu yang mengisinya. Ah Biarlah, Ayah Ibu sedang sibuk  berkelana demi rupiah, meninggalkanku yang katanya buah cinta mereka. Mereka mana peduli, cinta memang seperti itu. 

Lalu ku coba sejenak melupakan tentang cinta dengan berlari jauh darinya. Entah dengan cara apa, yang jelas aku tidak boleh berdiam seperti ini, yang jelas aku harus bergerak. Ya, gerak adalah langkah, langkah adalah jalan, gerak langkah yang berjalan adalah perjalanan. Perjalanan untuk berlari dari sesuatu yang ku sebut cinta. Aku tidak boleh selalu terpaku pada kekacauan tentang cinta, aku tidak boleh terus terdiam dalam tempurung seperti ini. Aku harus bangkit dan memulai. Aku harus memulai perjalanan. Harus.

Gunung Bromo, menjadi tempat pelarian pertama yang paling indah. Sanusi dan Rosidi adalah kawan sempurna yang mengantarkanku pada tempat nan indah ini. Kami terlarut dalam buaian cerita didepan bara unggun, tidak pernah membeku walau dinginnya bromo mulai membuat kakiku kaku. Hanya alam dan kami bertiga, aku telah temukan kenyamananku disini, aku menemukan diriku, aku tak lagi peduli dengan dia. Aku jatuh cinta, cinta dengan semua ini. Gunung bromo telah membuatku candu, candu akan sebuah latar yang hanya ada langit dan kesejukan serta kedamaian yang mengiringinya. Membuat kakiku ingin terus melangkah lebih jauh lagi dan semakin jauh. Hingga akhirnya kaki ini berhasil berpijak di negeri para daeng, tanah Sulawesi. 

Saat perahu melaju menyusuri sungai dari dermaga Ramang-Ramang sepulang dari kampung Berua di kabupaten Pangkajene Kepulauan. Aku mendapatkan kedamaian dari sejuknya memandangi pohon nipah yang berbaris beraturan. Sesekali aku melirik pada gadis di belakangku, sesekali aku terlena dengan senyumnya, dan tergerus dalam pusaran lubang di pipinya. Aku rasa, aku jatuh cinta. Cinta pada Berua  dan juga, kepadanya. Ah bukankah cinta itu bedebah! lantas mengapa semua ini terasa indah? kenapa perasaan ini tiba-tiba ada? Bukankah aku sedang berlari dari dia si masa lalu? Sudahlah aku lelah. Aku benar-benar sedang tidak ingin kecewa. Perlahan gadis itu menghampiriku, dengan mata yang sedikit nanar seperti ada buliran air yang tertahan dengan senyum manis miliknya “Dik, besok kamu sudah pulang ya?”. Perasaanku seketika kaku mendengar kata adik yang keluar mengawali kalimat tanya itu. Aku terdiam menerawang batu karst di ujung sana, mengingat pertemuan kami di gedung kesenian Sulsel, mengenang percakapan kami di pantai losari, dan menikmati perasaan yang tiba-tiba datang di Berua lalu berakhir di Berua pula. Tanpa ragu aku merangkulnya bagaikan sahabat lama yang baru berjumpa dan pada akhirnya aku menempatkan dia sebagai kakak perempuan yang luar biasa. Bukankah ini lebih indah? Seindah kecantikan sebuah pulau bernama Derawan di pesisir Kalimantan Timur.

Bapak Alimansyah namanya, pemilik homestay Nirwana di pulau Derawan, menyambut kedatanganku dengan ramah. Secangkir teh hangat dan sepiring kulimis, kerang-kerang kecil yang direbus dengan garam dan bawang menjadi hidangan sederhana yang kami nikmati berdua. Aku terkesima mendengar cerita-cerita semasa mudanya saat menjadi abdi negara ketika Indonesia sedang konflik dengan negara tetangga. Semasa kecil beliau juga sering ditinggal ayahnya melaut, kadang juga tidak tahu kabar tentang kondisi ayahnya di samudera sana. Kini beliau sudah tua, merasakan apa yang dulu ayah beliau rasakan. Aku hanya bisa takjub dengan cerita-ceritanya yang pada akhirnya aku menyimpulkan bahwa seorang Ayah rela membunuh kerinduan pada anaknya, demi melihat anaknya hidup. Ya, hanya ingin melihat anaknya bisa makan dan hidup. 

Aku juga belajar dari pak Hendra dan kawan-kawannya, pak Hendra adalah motoris speedboat yang mengantarku menuju pulau-pulau sekitar Derawan. Kami sedang menunggu air pasang untuk melanjutkan perjalanan menuju pulau Sangalaki yang terkenal dengan habitat ikan pari mantanya. Kami berada di pos penjagaan pulau kakaban larut dalam cengkrama bersama  kawan-kawan pak Hendra, yang  jika sedang tidak ada pekerjaan mereka akan pergi melaut. Rata-rata masyarakat suku bajau memang hobi melaut dan akan dijumpai didaerah pesisir, mereka juga terkenal dengan kemampun menyelam yang luar biasa. Aku baru tahu bahwa melaut itu bukan hanya tentang pergi ke laut, mancing dan pulang. Melaut itu butuh waktu berhari-hari kadang sampai satu minggu. Selama satu minggu itulah bapak-bapak ini akan selalu mengingat keluarganya. Dari perbincangan panjang kami di pos kakaban, hanya sebuah kalimat yang masih selalu aku ingat
“ketika menjadi seorang ayah, pasti ingin selalu bertemu dengan anaknya, jangankan satu hari satu jam saja sudah terasa kangennya” kalimat ini yang selalu membuatku bertanya, mungkinkah demikian pula dengan Ayah?

Perjalanan menggapai sudut-sudut indah di bumi pertiwi ini yang awalnya hanyalah sebuah pelarian dari sesuatu yang kusebut cinta justru membawaku pada arti baru tentang sesuatu yang kusebut cinta. Sanusi dan Rosidi adalah dua sahabat yang membawaku pada alam dengan pesona menakjubkan, mengenalkanku pada perjalanan dan berhasil membuatku jatuh cinta pada sebuah perjalanan. Jullen Cottesea, gadis yang aku jumpai di negeri para daeng telah membukakan pikiranku bahwa cinta bukanlah sesuatu yang mengikat, cinta itu universal. Pak Ali, pak Hendra dan kawan-kawannya telah berhasil membuatku meminta maaf kepada Ayah dan Ibuku atas kesalah pahamanku tentang mereka. Mereka berkelana mencari rupiah, bukan berarti tidak peduli terhadapku justru mereka sangat tersiksa harus selalu membunuh rasa rindu untuk bertemu denganku dan itu adalah wujud sebuah cinta yang baru aku sadari.  Ada sebuah filosofi yang pernah aku dengar entah dari mana, Cinta ibaratkan pasir jika digenggam terlalu erat maka pasir itu akan lebih banyak yang terjatuh, namun jika tangan kita terbuka pasir itu akan tetap banyak berada di telapak tangan. Untukmu si masa lalu, aku tidak membencimu dan kita bisa belajar dari pasir, juga dengan rumput yang masih bisa tumbuh diretakan dinding sungai mahakam. Aku sekarang tidak sedang berduka lagi, mungkin paku yang telah dicabut memang masih menyisahkan bekas pada sebuah dinding namun aku percaya ketika sebuah dinding dipaku membentuk sebuah pola, ia akan menjadi sebuah karya seni yang luar biasa. Demikian juga dengan cinta.

Sampai saat ini hubunganku dengan Sanusi dan Rosidi baik-baik saja, mereka tengah aktif sebagai alumni anggota pecinta alam dan kami masih berharap untuk dapat mendaki sebuah gunung bersama lagi. Pun dengan mbak Jullen, kami masih saling terhubung meski hanya melalui dunia maya, sekarang mbak Jullen sedang berada di Papua, bekerja disana dan telah menemukan belahan hatinya, Pria tampan Asal Ambon. Kepada pak Ali, pak Hendra dan kawan-kawan di pos Kakaban, aku hanya bisa menitipkan salam kepada ombak yang akan selalu menepi dan berirama di belakang homestay nirwana serta tepian pulau Kakaban. Perjalanan telah membawaku pada orang-orang yang tidak terduka, membuatku paham bahwa perjalanan bukan hanya tentang mengeksplorasi sebuah detinasi, lebih dari itu aku mengekplorasi diriku sendiri.  

***
Lalu bagaimana dengan kasus asusila, dan rusaknya moral yang mengatas namakan cinta, dan juga gadis yang menggoreskan kaca dilengannya demi cinta?
Mereka hanya perlu melakukan perjalanan untuk mencari tahu arti dari sesuatu yang kusebut cinta.
Lalu bagiamana dengan anda?



0 komentar:

  •