Saya terbangun tepat 10 menit
sebelum alarm berbunyi, suara dengkuran dan kentut salah satu kawan memang
alarm yang paling ampuh dibandingkan dengan bunyi-bunyian yang masih bisa
ditunda bahkan dimatikan itu. Saya tak memiliki pilihan selain menikmati aroma
derita ini sejenak dan sendirian dalam sadar. Empat kawan saya mas Inggit, Bob,
Kanjul dan mas Alex masih terlelap didalam sleeping bag. Pesimis adalah
perasaan yang menguasai saya waktu itu, energi saya rasanya terkuras habis
setelah bertempur dengan tujuh tanjakan penyesalan. Bagaimana saya tidak
pesimis, tanjakan penyesalan saja telah membuat saya ketar-ketir apalagi trek
saat summit nanti? Sempat saya berfikir saya berhenti sampai disini, memilih menikmati kaldera luas Segara Anakan hanya dari Pelawangan Sembalun. Tapi sayang
bila saya tak mencoba lagi. Fyuh … kebimbangan ini benar-benar sedang memenuhi
isi kepala.
Pos Pelawangan Sembalun |
Saya teringat pertemuan saya
dengan mas Inggit, Bob, Alex dan mas Kanjul. Kami bertemu di kapal ferry saat
menyebrang dari Bali menuju Lombok. Tak pernah mengenal satu sama lainnya,
hanya obrolan sederhana layaknya petualang yang baru bertemu ditengah jalan.
Mengetahui saya batal ke Nusa Tenggara Timur mereka menawari saya untuk mendaki
Rinjani. Bukan tanpa pemikiran saya mengiyakan tawaran mereka, semua karena
saat itu saya mengerti sekali bahwa kondisi fisik dan mental saya sedang baik.
Saya juga tidak ingin terlalu memaksakan jika nantinya saya hanya merepotkan
saja. Saya juga sudah menganalisa resiko-resiko yang akhirnya kesemuanya itu
membuat saya yakin bahwa saya akan berangkat mendaki bersama mereka. Ya, saya
sudah yakin semenjak berada di kota Mataram. Lalu haruskah saya
berhenti sampai disini?
Do’a-do’a yang selalu kami panjatkan
bersama sebelum memulai perjalanan, tos dengan embel-embel
“Rinjani … I’m Coming”
“Pos 3 … I’m Coming”
Dan sekarang saya harus siap
dengan kalimat
“Puncak Anjani … I’m Coming”
Saya juga teringat semangat yang
diberikan kawan-kawan
“kita berangkat bersama, nanti
kita dipuncak bersama dan pulang bersama”
Ya, saya tidak boleh ragu. Saya
harus mencoba.
“ Puncak Anjani … Kami datang”
Menuju Sembalun |
Diluar tenda gemuruh langkah kaki
kian terdengar nyaring mulai meramaikan suara di Pelawangan Sembalun, Cahaya
dari headlamp pun kian banyak. Satu persatu kawan saya mulai terbangun dari
tidur nyenyaknya bebarengan dengan bunyi alarm yang kian nyaring. Serangkaian
persiapan pun kami lakukan, tak lupa sarapan. Sebagai penyemangat, saya ingin
ngopi dipuncak nanti. Maka kami membawa satu ransel berukuran 32 L yang isinya
makanan ringan, air, sleeping bag tak lupa nesting dan gelas. Kebetulan Asep
dan Bang Mentrong, orang Lombok yang kami temui di perjalanan menuju Sembalun
ini ikut muncak juga dan mereka membawa kopi Lombok. Sedang kawannya yang Lain,
Cintya, Bang Bogar, Wayan, dan Nesya memilih tetap di Plawangan Sembalun.
Kami bertujuh berkumpul di luar
tenda, pemanasan sejenak lalu berdo’a sesuai keyakinan yang dianut
masing-masing. Headlamp telah dinyalakan, tali sepatu mereka kencangkan dan
saya hanya mengencangkan sandal gunung yang saya pakai. Saya memakai baju lima
lapis sebab jaket yang saya pakai hanya berbahan dasar kain yang tembus angin
dan air. Syukurlah mas Kanjul mau meminjamkan celana hikingnya pada saya.
Bersama semangat yang kian membara, di pos Pelawangan Sembalun dan danau Segara
Anakan dibawah sana, kami menyatukan telapak tangan dengan penuh keyakinan. Lalu berteriak halus ...
“PUNCAK ANJANI … I’M COMING …
YEAH!!!”
Saya, cintya, Asep, Nesya (Kawan dari Lombok) |
Karena saya yang paling pemula diantara
semua maka kawan-kawan saya menyuruh saya berada di posisi ketiga tepatnya di
belakang Bang Mentrong. Mungkin mereka takut ketika saya berada dibelakang dan
tertinggal jauh mental saya tiba-tiba jatuh, mereka memang baik. Kami terus
melangkah sesekali berpapasan dengan regu lain yang sedang menyiapkan diri
juga. Sorotan headlamp yang berjajar memanjang mengikuti kemiringan medan
membuat saya benar-benar hampir menyerah sesaat saat itu.
“Umak Aii .. Tinggi Kali” batinku
Baiklah saya tidak harus melihat keatas, fokus pada medan yang sedang dijalani,
pelan-pelan kami nanti pasti berada disana. Dini hari itu oksigen sedang
tipis-tipisnya, saya yang tidak kuat mengikuti derap langkah bang Mentrong
memilih memperlambat langkah. Setelah menuntaskan medan tanah ini, kami
memasuki medan berpasir, kami terpecah menjadi dua team saya didepan bersama
mas Inggit. Naik tiga langkah turun satu langkah begitu seterusnya, benar-benar
menyebalkan. Banyak pendaki yang gagal dan memilih pulang ada juga yang masih
semangat melanjutkan pendakian. Saya masih ingat perkataan kawan-kawan saya
saat berada di Mataram
“Kamu belum pernah rasakan betapa
indahnya duduk diantara awan yang ada dibawah kita Ki”
Segara Anakan |
Ah saya kembali semangat meski
pasir tak henti-hentinya masuk bergantian ke dalam sela antara telapak kaki dan
sandalku, untung saja kaus kaki yang kupakai tidak berlubang. Benar-benar menganggu
pijakanku. Teriakan-teriakan kecil “Ayo bang sedikit lagi semangat”, “semangat
bang” menambah energi untuk terus dan
terus mendaki. Sesekali saya berhenti menarik nafas lalu melanjutkan lagi. Merangkak,
terseok-seok bahkan sampai pasir masuk kedalam lubang hidung, geli rasanya. Benar-benar
melelahkan, hingga akhirnya berhasil melewati medan pasir ini dan menemukan
tanah landai yang sedikit lapang. Rupanya Asep dan Bang Mentrong sedang
menunggu disana, sayapun segera menghampiri dan menunggu team yang masih
dibelakang sembari menyantap cracker dan meneguk air dari dalam botol. Mas
kanjul pernah bilang kepada saya bahwa air gunung itu kesegarannya tidak
tertandingi dan Ya, saya membuktikannya sekarang.
Tanjakan Penyesalan |
Dini hari itu sangat dingin, kami
tidak boleh terlalu lama istirahat untuk menjaga suhu tubuh agar selalu hangat.
Lagi-lagi kawan-kawan saya menyuruh saya untuk berada di barisan tengah tepat
dibelakang bang Mentrong dan Asep, kami berjalan beriringan setapak demi
setapak diikuti helaan nafas yang mulai tersendat-sendat. Berkali-kali saya
coba mengikuti langkah kaki bang Mentrong tapi akhirnya saya tak sanggup mengikuti
langkahnya yang begitu cepat dan memilih memperlambat langkah hingga bang
Mentrong tak terlihat lagi tertutup kabut didepan sana. Saya berdiam sejenak,
menunggu team yang masih di belakang sampai bertemu dengan mas Alex. dari kejauhan mas Alex berteriak
“Maju terus, tunggu di atas”
Saya ngikut saja instruksi dari
mas Alex, saya terus mendaki dengan irama yang tak lagi beraturan. Karena masih
gelap dan pandangan tertutup kabut saya pikir puncak sebentar lagi didepan sana
dan sampai di tempat yang saya kira puncak ternyata itu bukan puncak, makin
jatuh rasanya mental ini. Saya harus terus berjalan, sesekali pendaki lain
menyalip dari samping kiri dan kanan sembari memberikan semangat “Ayo bang
dikit lagi, semangat” . Ya, sedikit lagi saya tak boleh berhenti disini, saya
harus terus mencoba menepati komitmen kami selama dibawah tadi, bahwa kita akan
berada di puncak bersama-sama. Medan yang kini menjadi bebatuan besar bercampur
pasir ini membuat langkah kaki makin berat melangkah, meski tak seberat medan
pasir di bawah tadi namun cukup menguras tenaga karena tak ada lagi bonus trek
yang landai. tak ada pilihan selain terus melangkah hingga mas Alex yang berada di belakang saya tak lagi
terlihat sebab kabut yang masih saja menjadi penghalang pandangan.
Semangat melangkah |
Rasanya sudah berkali-kali saya
duduk sejenak lalu kembali mendaki, tapi kali ini saya benar-benar lelah.
Tulang-tulang di betis saya mulai protes pun dengan otot-otot yang makin
tegang, saya gemetar. Saya tersandar di sebuah batu besar yang dapat menjadi
penghalang agar angin tak langsung mengenai badan. Saya pesimis melihat cahaya headlamp yang berjejer jauh diasa sana. Kini saya benar-benar lelah,
gelap masih saja tak berubah, dia tetap tak memiliki cahaya hanya kabut yang datang lalu pergi dan datang lagi begitu
seterusnya. Saya mengeluarkan sarung yang mengalung pada leher, kali ini biarkan
saya terpejam sejenak disini, saya benar-benar lelah.
***
Dulu saat melakukan perjalanan ke
Bromo saya pernah bilang bukan? Bahwa setiap gunung pasti punya cerita dan
suatu hari nanti saya akan menjemput cerita-cerita itu kembali. Kali ini saya telah menjemput cerita itu kembali. Tapi ... haruskah kata menyerah menjadi akhir dari cerita pada
gunung Rinjani ini? Rinjani, aku masih ingin menggapaimu.
2 komentar:
keren grek.. gue sampe sekarng belum kesampain berkunjung ke rinjani..
lanjutan ceritanya mana cintooo 😃 penasaran ini loh 😊 excited 😍