Setiap perjalanan pasti punya kisah, tak terkecuali juga
dengan kisah cinta. Cinta. Setiap insan adam dan hawa pasti pernah
merasakannya, tak terkecuali aku. Aku pernah merasakan cinta dengan segala
keindahannya, seolah langit selalu membiru degan segala kecerahannya. Cinta
hadirkan rindu berbalut kasih, menebar senyum meredam emosi, dunia tak lagi
hampa dengan adanya cinta yang selalu setia saat ceria maupun duka, namun
ketika langit biru dengan kecerahannya tertutup oleh awan hitam bersama
halilintar kejamnya, cinta berubah. Rindu tak lagi berbalut kasih, kasih
berubah menjadi emosi, tak lagi ada senyum ketika cinta berubah jadi dusta, dunia
tiada lagi berwarna, megahnya yang selalu hadirkan tawa lenyap berganti dengan
air mata, bukan bahagia tapi derita. Ketika cinta sudah berkhianat semua terasa
bangsat ! tidak munafik, aku juga pernah keos karena cinta. Hari-hariku buta,
kosong dan hampa, tak ada semangat menantang hari, jangankan berlari sekedar
terbangun dari tidur aku tak sanggup. Aku hanya bisa berdiri dengan hati yang
sebenarnya rapuh. Butuh waktu lama menyembuhkan luka karena cinta, tidak hanya
satu dua hari, satu dua minggu, bahkan satu dua bulanpun luka itu masih
menghadirkan nestapa. Sejak saat itu aku selalu memandang cinta dalam sesuatu
yang sempit, cinta hanya keindahan sesaat yang pasti berujung pada kesakitan.
Hingga seorang gadis mengenalkanku
kepada cinta yang lebih luas.
Berawal dari pertemuan biasa di depan gedung kesenian Sulsel
“Societte de Harmonie” berlanjut dengan pembicaraan kaku di pantai losari, aku mulai
mengenalnya. Aku tak pernah tahu tentang rasa yang kian membuncah saat menatap
mata binarnya dan mendengar kalimah dari bibir manisnya. Sudah lama aku tak pernah merasakan kasih
dari seorang wanita, hampir dua tahun aku selalu berusaha mengejar cita dengan
mengabaikan cinta, tapi kali ini cinta seketika muncul ketika aku mengenalnya,
namun aku masih tak mau memutuskan bahwa aku jatuh cinta. Cinta tidak memandang
usia, begitulah kalimat yang sudah tidak asing terdengar dimana-mana. Aku tak
peduli tentang usia, aku hanya peduli
tentang rasa yang kian meraba dalam diriku, dalam hatiku.
Perhatiannya, kedewasaannya, keceriannya dan segala yang dia
punya berhasil menumbuhkan bara dalam hatiku. Mungkinkah ini cinta? mengapa aku selalu
nyaman didekatnya? mengapa aku selalu ingin melindunginya? mengapa aku selalu ingin
bersamanya? lantas darimana aku bisa mencintainya? apa saat dia menemani pagiku
dengan secangkir teh hangat di rumah mas Anca?
atau saat dia memegang tanganku kala melewati sapi ketika hendak
menyusuri goa? atau mungkin saat dia memegang tanganku erat-erat ketika
menuruni goa? ah aku tidak tahu ! yang jelas rasa ini ada. Rasa ini berbeda,
bukan perasaan cinta yang ditumbuh dikala remaja, tak ada keinginan untuk
memilikinya atau menjadi kekasihnya, aku tak pernah tahu ini perasaan apa.
Ramang-ramang dengan segala keindahannya membuatku jatuh
cinta, ditambah seorang gadis didalamnya yang kian menambah romansa. Diperahu
motor saat perjalanan pulang dari Berua, sembari merasakan segarnya udara aku
termenung, merenungi pertemuan terakhirku dengannya. Besok aku harus kembali ke
Samarinda, namun masih tak ada jawaban dari rasa yang tak biasa ini.
Sejak kecil aku tak pernah mendapatkan perasaan seperti ini
dari seorang wanita. Ibuku merantau ke luar kota bersama Ayah demi menghidupi
aku dan ketiga kakak laki-lakiku, aku hanya tinggal bersama nenek yang juga
bekerja dari pagi hingga petang. Dua
tahun aku juga berjalan mengejar cita tanpa cinta dari wanita. Mungkin ini hal
yang wajar saat aku memiliki rasa berbeda kepadanya. Entah kenapa aku tak ingin
pulang, aku ingin disini bersamanya, hingga kalimatnya di pelabuhan ramang-ramang
membuatku sadar
“dik,
besok kamu pulang ya ?” dengan mimik
wajah penuh rindu
Aku
tercengang, kaget dengan kata “dik” yang tiba-tiba menggetarkan hatiku, seolah
bara yang berkecamuk dalam hatiku memadam.
Bukan berarti aku kecewa, justru aku sangat bahagia. Aku seperti menjadi
seorang adik yang lebih utuh. Aku memang tak menginginkannya menjadi kekasihku
dan inilah jawaban dari rasa yang membara itu. Dik. Ya adik. Seorang kakak juga bisa memberikan cinta,
cinta tak harus menjadi kekasih, cinta juga tidak harus dilambangkan dengan
sebuah kecupan dan pelukan bahkan pengorbanan ayah, ibu, dan nenekku adalah
wujud sebuah cinta yang belum pernah aku sadari. Di pelabuhan ramang-ramang aku
merangkulnya seraya hatiku berkata “terimakasih kakak”. Kali ini aku sadar
bahwa cinta tak harus dikhususkan pada satu orang dengan sebuah ikatan, cinta bukan
lagi keindahan yang berujung pada sebuah kesakitan, cinta adalah sebuah kasih
yang bisa diberikan kepada siapapun, karena Sang Maha pencipta cinta,
menciptakan cinta bersama keindahannya. cinta itu universal.
Terimakasih Jullen Cotesea
Terimakasih Jullen Cotesea
Memory terindah saat melewati sapi |
11 komentar:
Aaahh jadi mellow... Nangis diriku baca blog mu dik :,)
ah kalau nangis jangan makan coklat lagi ya ? hihi
hahah.. gak lah adiks, kan lg diet, wkwkkwkwkw
Kereeeenn,, bnyak perkembangan kamu ki,, pinter,, *pukpuk*
thanks bu Mentor :)
cie selamat yg lagi cinta"n ,,
cinta yang universal tapi mas :)
heh ? adiks2 ku semua itu...
jadih ikut sedih
hihihi kalau sedih senyum ya ...