Samarinda, Ibukota provinsi Kalimantan Timur saat ini sedang
gencar dalam proyek pembangunan,
gedung-gedung mulai di bangun, pusat perbelanjaan mulai tercecer di
berbagai tempat, gemerlap lampu bak kembang api di tahun baru mulai menghiasi
pemandangan Ibu kota. Disaat masa pembangunan seperti ini budaya tradisional
perlahan mulai tergeser, arus modernitas mengalir deras mengubah pola pikir dan
gaya hidup masyarakat namun tidak bagi para penjual lemang di jalan Pulau Sebatik yang masih kokoh mempertahankan budaya tradisional warisan pendahulu
mereka.
Lemang, Merupakan panganan khas Indonesia yang sudah merakyat
di belahan bumi pertiwi. Panganan ini terbuat dari beras ketan yang dicampur
santan dan dibumbui garam, paduan bahan
ini digulung dengan daun pisang sebagai pembungkusnya lalu di masukan ke dalam
ruas bambu dan di bakar hingga matang sampai menghasilkan kegurihan dalam
aromanya.
Ketika saya menunggu lampu merah berubah menjadi hijau di
simpang empat jalan Pulau Sebatik mata saya selalu tertuju pada pemandangan
deretan cahaya dari lampu minyak sederhana di sepanjang trotoar, mengundang
saya untuk singgah sejenak menuju cahaya itu. Deretan cahaya itu adalah cahaya dari lampu minyak yang menerangi lapak penjual lemang di jalan Pulau Sebatik. Ya, saya sedikit terharu. Disaat
arus modernitas meraba kehidupan dan pola pikir masyarakat, listrik penjadi pilihan
penerangan, namun tidak bagi para penjual lemang yang masih memakai sumber
cahaya dari lampu minyak sederhana untuk menerangi lapaknya. Cahaya ini seolah
memiliki makna yang dalam, cahaya dari lampu
minyak yang mengisyaratkan kedamaian dalam kesederhanaan. Cahaya ini juga
lambang dari kesetiaan para penjual lemang terhadap pendahulu yang sudah
berjualan sejak berpuluh-puluh tahun lalu, seperti yang dituturkan acil (baca :
tante) Ipah salah seorang penjual lemang yang sudah berjualan sejak gadis
hingga sekarang
“Lemang sudah ada mase
sejak jaman datuk, dulu tempat ini namanya pinang bebaris karena banyak pohon
pinang, tapi sekarang sudah jadi jalan Pulau Sebatik, satu deret semuanya ini
masih satu saudara mas tapi kami kada
merasa iri, rejeki sudah ada yang ngatur, dari jaman datuk jualan lemang ya
pakai obor-obor seperti ini mase”
ungkap acil Ipah salah seorang penjual
lemang berdarah Banjar ini
Begitulah lemang dan cahayanya disaat Ibu kota selalu
diwarnai kesibukan, banjir tak henti-hentinya mengundang opini, kemacetan membuncahkan emosi, cahaya dari deretan para penjual lemang ini mampu
memberikan sedikit rasa damai ketika mata memandang dan hati merasakannya. Tak henti-hentinya saya
memuji para penjual lemang yang masih mempertahankan ketradisionalan ini, mereka masih
mau menyalakan cahaya api dari lampu minyak sederhana di balik gemerlap lampu
Ibu kota. Cahaya itu menjadi saksi tradisi yang syarat akan kesederhanaan dan
sudah seharusnya menjadi tugas kita putra-putri Indonesia menjaga cahaya itu
agar tetap abadi. Untuk negeri ini.
3 komentar:
Lemang, saya kira hanya ditemukan pada saat acara tertentu saja, semisal di hari raya atau acara lainnya. Ternyata ada juga yang dijual harian atau ready stok ya, jadi bisa menikmati kapan saja sesuai kebutuhan.
Liputan menarik.
mas Iman silahkan mampir ke Samarinda rasakan sensasi lemangnya . nyahahahaha :D
nyahahaha :D sepertinya saya harus coba jika berada di Lombok :)